Beginilah kebiasaan kami setiap malam.”, kata Ahmad. “Sebagian dari kami sholat tahajjud dan sebagian lagi menjaga kemah. Kami bergiliran Bmelakukannya. Semuanya itu akan diganjar pahala oleh Allah.”. “Demi tuhan aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Sungguh pemandangan yang sangat indah.”, kataku takjub. “Sultan menjadi imam di depan sana.”, Ahmad menunjuk. “Sholatnya sudah selesai, mari aku antar kau menemui Sultan.” Ahmad mengantarku menyusuri barisan demi barisan Prajurit Saracen yang sedang beribadah itu ke tempat paling depan untuk menemui Saladin. Aku melihat Prajurit2 Saracen terkejut begitu melihat aku ada di depan mereka. Apalagi aku masih mengenakan mantel salibku.
“Assalamu’alaikum, Sultan!”, kata Ahmad. Akhirnya sampailah aku di hadapan Saladin. Dia duduk bersila di atas sebuah karpet yang berumbai di tiap sisinya. Di belakangnya ribuan prajurit Saracen dalam posisi yang sama, menghadap ke arah yang sama. Aku melihat ada kecurigaan di mata mereka saat memandangku. “Wa’alaikumussalam.!”, sahut Saladin. “Silakan duduk wahai Ahmad!”. Suara Saladin berat, namun lembut. Ada kerinduan dalam hatiku untuk selalu mendengar suaranya saat membaca bacaan ketika beribadah tadi. Sungguh syahdu dan damai di telingaku. Air muka Saladin sungguh tenang dan bercahaya. Aku berdiri di belakang Ahmad. Saladin melihatku namun dia tersenyum, tak ada raut kecurigaan di wajahnya padahal salib besar warna merah darah terpampang di mantelku yang menandakan bahwa aku adalah musuhnya. Janggutnya hitam dan matanya tajam cemerlang. Dia sangat tegap dan perkasa untuk pria seusianya.
Aku sering melihat dia bertempur dengan gagah yang membuatnya terlihat lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Dia memakai sorban putih yang diselendangkan di salah satu bahunya. Pedangnya siaga di sisinya. Ahmad duduk di hadapan Saladin. Dia menuntun tanganku untuk duduk di sebelahnya. Duduklah aku di hadapan ribuan tentara Saracen, yang membuat jantungku berdegub lebih kencang. “Sultan, doa Sultan telah dikabulkan Allah.”, kata Ahmad. “Inilah dia laki2 yang telah menolongku itu, Sultan. Dia datang sendiri untuk menemuimu.”. Saladin tersenyum padaku. Aku gemetar. “Siapa namamu?”, tanyanya.
“Namaku Phillipe, Yang Mulia Paduka Sultan.”. “Cukup panggil aku Sultan saja!”, pinta Saladin. “Dan aku memintamu melepas mantel salib itu, karena hanya musuh kami yang memakainya. Sementara kau kami terima bukan sebagai musuh.” “Terima kasih, Sultan”, aku segera melepas mantel salib merahku dan menghempaskannya jauh2. “Aku mengucapkan terima kasih, karena kau telah begitu baik mau menolong dan membela prajuritku.”, Saladin menepuk-nepuk bahu Ahmad. “Aku hanya melaksanakan perintah Tuhan Yesus kepadaku. Aku ke sini ingin menemuimu, aku ingin membicarakan sesuatu yang selalu mengganggu hidupku.”.
“Jika aku cukup berilmu untuk menjawab, maka aku akan menjawabnya!”. “Aku ingin tahu yang sebenarnya tentang apa itu Islam dan siapa Muhammad. Kitab seperti apa Al-Quran itu. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Sebab apa yang aku tahu selama ini adalah doktrin Gereja dan semua pandangan mereka itu buruk. Tolong beri tahu aku yang sebenarnya.”. Saladin tersenyum, begitu juga Ahmad. Di hadapan ribuan tentara Saracen, Saladin memberi tahu aku tentang Islam. Menceritakan padaku siapa Muhammad, dan membuka kitab Al-Quran bersama-sama.
Tak tanggung2, Saladin juga membuka Alkitab di hadapanku. Tak kusangka Saladin tahu banyak hal tentang Alkitab dan Kristen. Aku tak pernah membaca dan mempelajari Alkitab secara langsung, dan dalam penjelasan Saladin kupahami dan kulihat benar2 buku seperti apakah Alkitab itu. Sungguh aku puas dan bahagia. Aku puas dan serasa melambung ke langit ketujuh. Jelas sudah di hadapan mataku mana yang benar dan mana yang salah. Saladin memberi aku bukti. Mengajakku merenung dan berpikir dengan akal yang jernih. Aku sungguh kagum kepadanya. Intelektualitasnya luar biasa. Aku bersyukur. Dan malam yang panjang itu, padang rumput Acre yang gelap itu, serta ribuan prajurit Saracen itu menjadi saksiku. “Kami adalah muslim.”, kata Saladin. “Penyembah Tuhan yang satu, pengikut Rasulullah Muhammad yang memurnikan agama Rasul2 terdahulu yang sudah banyak diselewengkan orang. Jadi jangan sebut kami Saracen, karena kami bukan Saracen.”. “Sultan…”, aku bulatkan tekad dan keberanianku keputusan seumur hidupku akan kubuat malam ini. “Aku ingin menjadi muslim.”. Seketika meledaklah puji2an kepada Tuhan. Suara2 penuh suka dan kegembiraan memenuhi padang rumput di Acre. “Aku mohon ajari aku.”, aku melihat sorak sorai dan tawa gembira. Ribuan pasukan muslim melompat dan bersyukur.
Mereka mencium dan memeluk satu sama lain seakan-akan mereka adalah saudara kandung. Aku tersenyum.!! Saladin tetap tenang duduk bersila. Dia mengangkat tangan kanannya dan ribuan tentara muslim itu dengan otomatis diam dan kembali dalam posisi semula. Malam kembali menjadi hening, yang terdengar hanya desau angin. “Allah Maha pemberi petunjuk”, Saladin begitu tenang dan aku benar2 merasakan kemuliaan terpancar dari matanya. “Sekali kau masuk Islam tak pantas kau kembali lagi mengingkarinya. Apakah kau benar2 meyakini pilihanmu?”.
“Demi Tuhan yang esa, karena pelajaran dari Sultan-lah sehingga sekarang aku memilih menjadi muslim. Karena Sultan telah mengajari aku dengan bukti2 yang membuat aku puas. Semua pertanyaan di dalam jiwaku terjawab sudah.”, Ahmad memperhatikan aku bicara. “Aku meyakini Islam dengan segenap hatiku. Aku ingin menyembah Allah yang esa dengan benar. Allah yang sama yang disembah oleh Yesus dan Rasul Muhammad.”.
Bulan penuh bercahaya kuning emas. Segalanya hening, seakan-akan mendengarkan apa yang akan aku ikrarkan. “Aku bersumpah akan aku peluk Islam sampai matiku. Karena aku tahu itulah yang benar.”. Saladin tersenyum. Dia berdiri menghadap ke arah dia beribadah. Seluruh prajurit muslim mengikutinya. Ahmad pun melaksanakannya. Aku duduk diam tidak mengerti. Bersama-sama mereka bersujud. Aku bergegas mengikuti apa yang mereka lakukan walaupun aku tidak mengerti. Tak lama mereka kembali ke posisi semula. “Apa yang tadi kita lakukan, Sultan?”, tanyaku. “Kita melakukan sujud syukur. Setiap seorang muslim mendapatkan nikmat dalam hidupnya dari Allah, Rasulullah Muhammad mengajarkan kita untuk bersujud kepadaNya. Dan kehadiranmu malam ini adalah sebuah nikmat yang sangat agung bagi kami!”. Aku bahagia. Ribuan Pasukan Muslim bersujud karena mensyukuri kehadiranku. “Apa yang harus kulakukan, Sultan?”, aku mendesak. “Aku benar2 ingin menjadi muslim.”. Saladin tersenyum kepada Ahmad.
Lantas Ahmad mengantarkan aku ke sebuah kemah. Dia memintaku membasuh wajah dan tubuhku dan mengganti pakaianku dengan pakaian yang lebih bersih dan harum, berwarna putih. Tak lama aku kembali lagi ke padang rumput itu. Ahmad mengiringi aku. Aku berlutut. Dadaku bergemuruh! Saladin membacakan kepadaku sebuah kalimat suci yang wajib dibaca semua orang yang akan menjadi muslim. Dia mengajarkanku maknanya. Juga sumpah agung dan suci yang ada di balik tiap susunan kata2nya, sehingga aku benar2 memahaminya. Aku menyaksikan bahwa tidak pernah ada tuhan lain, selain Allah yang esa, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya.
Dan Rasulullah Muhammad adalah benar2 utusanNya, yang telah teguh menjalankan amanat agungNya dan janjinya. Dengan mantap dan teguh aku mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang akan membuat hidupku berbeda selama-lamanya. Aku bersumpah seumur hidupku untuk selalu menaatiNya dengan segenap kemampuanku dan menjauhi semua laranganNya. Akan kuserahkan segala yang aku punya untuk menegakkan agamaNya. Aku bersumpah.!! Aku merasakan tubuhku telah suci, segala najis telah luruh dari kulitku. Dan lepaslah sudah segala gemuruh di dadaku. Guruh kegembiraan pecah memenuhi malam, keluar dari ribuan tentara muslim saat menyaksikan aku masuk Islam. Saladin berdiri, dia menyuruhku bangkit, dan dia menggenggam tanganku. “Ada persaudaraan yang lebih kuat daripada persaudaraan karena darah.”, Saladin berkata kepadaku. “Persaudaraan itu adalah persaudaraan dalam iman. Kau lihat, semua prajurit muslim di sini dan semua orang muslim di seluruh dunia adalah saudaramu. Mereka akan menjaga dan membelamu, seperti satu tubuh.
Aku pun adalah saudaramu. Bersama-sama kita akan menegakkan agama Allah di muka bumi ini dan menghancurkan kezaliman orang2 kafir.”. Saladin mencium kedua pipiku seperti mencium anak kandungnya, dia memeluk aku erat sekali, seakan tak ingin melepaskanku. Ahmad memelukku dan menepuk-nepuk bahuku. Seluruh prajurit muslim melompat kegirangan. Puja-puji kepada Tuhan naik ke angkasa, mengantarkan aku kembali pulang kepada Tuhan yang esa. Malam itu sungguh menggembirakan aku. Aku bermimpi berlari di sebuah taman yang sangat indah.
Di sisiku ada seorang perempuan yang sangat cantik, namun tidak aku kenal. Sungguh semuanya begitu baru. Aku bersyukur kepada Tuhan yang esa. Tidak pernah ada kebahagiaan hidupku, tidak pernah ada ketenangan di dalamnya, kecuali setelah aku memeluk Islam. Aku akan bela keyakinanku ini apapun yang terjadi. Aku merasa telah terlahir kembali. Dan di sinilah, di sisi karang tanduk Hattin, aku tegak kepada langit, setelah Tuhan memberi aku kehidupan sebagai manusia yang sesungguhnya, kuakhiri risalahku. Sebab di sana, di hadapan pelupuk mataku, kulihat Kerajaan Sorga di tengah2 gemuruh derap musuh2 Tuhan. Dan aku tidak sabar untuk segera memasukinya…… (bersambung)